Ketika tulisan mewakili hati, ketika tulisan menjadi sarana berbagi

Senin, 25 Februari 2013

Sekelumit Cerita


Oktober, 16th 2005
                                                                         Langitku  seketika menjadi kelabu.


              Pagi hari itu... tidak ada tanda-tanda akan kehilangan. Langit masih cerah. Seperti biasa waktu sarapan aku masih menyuap ayah. Dan tidak ada tanda sama sekali kalo ayah bakalan meninggal hari itu. Ayah memang udah lama sakit. Sepulang dari rumah sakit pun memutuskan untuk berobat jalan. Tapi seperti tak ada peningkatan kepulihan kesehatan ayah.
Tak terkira hari itu adalah hari terakhir aku bisa melihat ayah, hari terakhir kalinya aku bisa nyuapin ayah.(╯︵╰,)


           Siang itu, aku tidur terlelap, namun kemudian tiba-tiba aku terperanjat kaget mendengar teriakan salah satu saudaraku yg bilang klo ayah jatuh. Ya. . . saat aku datangi ayah, kondisinya udah lemah banget. Ah, aku jadi kasihan sama ayah. Dia ngeluarin banyak darah. Tatapan mata yg sayu menampakkan dia udah gak kuat untuk bertahan. Tubuhnya lemas.
Waktu itu hanya ada 5 orang perempuan, kebingungan. Berusaha sebaik mungkin untuk bisa mengangkat ayah & memindahkan ke tempat tidur. Dan berhasil.
Lalu mereka mencoba menyegarkan kondisi ayah. Sampai orang ramai berdatangan,,
Akhirnya ayah akan dibawa ke RS lagi. Tapi...ketika ayah mulai dimasukkan mobil,  ada hal yg tak pernah bisa aku lupa. Darah. Iya... begitu banyak darah yg harus keluar lewat mulut ayah, dalam keadaan ayah yg terlihat tanpa kekuatan lagi. Aku hanya menatap hening dari dekat pintu. Ada air mata yg sempat tertahan.     (˘̩̩̩^˘̩̩̩)     
   

      Setelah dibersihin, ayah jadi dibawa ke RS. Sedangkan aku sama bu dhe di rumah bersihin darah.
Beberapa saat udah ada kabar klo ayah udah baikan, udah diinfus segala macem. Sementara aku tenang walau pikiranku masih kacau & terus memikirkan ayah.
Tapi . . . tiba-tiba setelah itu ada saudara yg dpt kabar dari RS, ngasih tau ke bu dhe klo trnyata ayah udah ga ada. Waktu itu bu dhe belum sempat bicara sama aku, tapi bu dhe udah nangis. Otomatis aku tau maksud dari tangisan bu dhe. Seperti terkena heart attack saat aku menyadari hal itu.
Oh . . . rasanya. . .  sakit, nyesek ah pokoknya ga bisa diungkapin dgn kata-kata. Aku langsung histeris. Aku menangis, aku manggil2 ayah. Aku . . . . ah, betapa sedih & hancur ditinggal ayah.
Semua itu terasa seperti mimpi, aku pun berharap demikian. Tapi kenyataannya berbeda.
Ayah udah pergi selamanya. T^T (-̩̩̩-̩̩̩_-̩̩̩-̩̩̩)
              Aku ga bisa bayangin gimana perasaan ibu ketika itu. Hancur, perih mungkin.
Aku bener-bener kehilangan banget. Ayah itu. . . ayah terbaik yg aku miliki dech pokoknya.
 Sejak kejadian itu, ya tentu aja kehidupanku mulai berbeda. Butuh proses yg sangat tidak mudah, dari ada menjadi tidak ada ayah. Iya. Lebih mandiri tentunya, sadar diri.
Aku membiasakan hidup prihatin, mandiri, tegar, sabar.
Allah lebih sayang ayah.
Aku hanya ingin menjadi kebanggaan ayah meskipun semua hal tak bisa ku tunjukkan langsung ke ayah.
Aku sayang banget sama ayahku.
Jujur aku sempat sulit menerima kepergian ayah. Tapi aku sadar, itu jalan yg udah ditakdirkan Allah untuk hidupku.
           Aku udah ikhlas menerima. Hanya saja rinduku ini buat ayah ga mungkin akan bertepi.
Doa yg selalu ku panjatkan untuk ayah di sana. Semoga selalu dalam ketenangan di sisiNya, diampuni segala dosanya, dan ditempatkan di surgaNya kelak.  Amin

Kehidupan yg berbeda, semuanya berbeda.

... seperti sesak yg membentur rongga dada ketika udara pergi.
Kehilangan memang tak pernah indah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar